Hutang Budi

Hari Minggu sebelum PEMILU 2009, saya membaca rubrik Parodi Samuel Mulia di harian Kompas. Isinya tentang alangkah tidak enaknya punya hutang budi. Mau Budi, Wati, Andi dan siapapun itu, namanya hutang itu memang tidak enak! Kalau hutang yang bisa dinilai dari nominal rupiah, tentu gampang untuk melunasinya. Berbeda ketika kita hutang budi dengan orang lain, karena hutang Budi nggak bisa di rupiahkan dan tentu sulit untuk menakar untuk membalas hutang budi yang pernah dilakukan kepada oang lain kepada kita. Kalau yang belum baca tentang tulisan itu, silahkan baca saja disini.

Mumpung masih beraroma PEMILU sekarang ini, postingan saya kali ini juga masih tentang PEMILU. Setelah dipikir masak-masak, akhirnya di PEMILU kemaren saya nggak bisa mencontreng caleg yang sesuai kriteria yang telah saya sebutkan sebelumnya. Ada yang ngggak Fotogenic, saya contreng. Ada yang nggak S1, juga saya contreng. Ada juga yang nggak fotogenic dan nggak S1, nggak punya pengasilan tetap dan nggak punya jiwa kepemimpinan…. Juga saya contreng. Munafikkah seorang saya ini?

Saat mencontreng pun sebenarnya hati kecil saya masih nggak rela saya mencontreng caleg yang nggak banget itu.  Tapi… Ada alasan yang membuat saya harus itu. Apa lagi kalau bukan yang namanya hutang budi. Caleg tersebut sudah menyumbang puluhan juta untuk pembangunan masjid di kampung kami, perbaikan jalan, memfasilitasi tim sepak bola di kampung dan banyak lagi sumbangan-sumbngan untuk kemajuan kampung saya. Kalau dilihat dari performanya selama ini, saya masih nggak yakin orang ini bisa menjadi caleg yang baik. Mungkin cuma modal uang yang jadi satu-satunya modal untuk melenggang ke DPRD. Beberapa menit sebelum pencontrengan, saya masih berfikir untuk pilih caleg lain, caleg yang memenuhi 4 kriteria pilihanku. Tapi…saya nggak juga ngerti ma mereka lagian belum ada satu hal pun yang caleg itu berikan pada kampung saya, selain mengotori dinding-dinding rumah dengan stiker gambar pas photo mereka.

Sebenanya nggak nyontreng caleg yang gak banget bisa saya lakukan, toh dia juga gak bakalan tahu. Tapi hati nurani bicara lain, harus mencontrengnya. Karena bantuan yang selama ini mengalir pada kampung saya tidak benar-benar tulus, melainkan ada maksud tertentu. Yang bukan lain maksud itu adalah warga kampung tempat saya tinggal menyontreng namanya dilembar kertas suara. Dengan menyontrengnya setidaknya saya dan mungkin warga kampung lain tidak lagi merasa hutang budi padanya.

Hmmm… nggak enaknya punya hutang budi 😦

6 pemikiran pada “Hutang Budi

  1. maksudnya budi punya hutang? atau mas hajir yang punya hutang?

    kayaknya mas punya hutang deh sama aku ../ ajak traktir aku makan :p

    pikirnya jangan masak-masak mas.. ntar kemasakan :p

Tinggalkan komentar